Gradasi warna langit shubuh terlihat mengejar pagi, membawa suasana hangat bagi yang menikmatinya. Tetapi tidak dengan Salim, dia tampak terlihat murung sambil menyiapkan tas kecil yang sering dibawa untuk bepergian. Aisyah Isrinya menemani sambil membawa secangkir kopi panas dan pisang goreng hangat kesukaannya.
“Yakin sepagi ini mas? apa tidak
sarapan dulu?”
“Dijalan aja makannya” jawab
salim sambil menyiapkan sepatu yang akan dipakainya
“Apa harus ke Om lukman? Kita
masih bisa pinjam uang di tempat lain mas?”
Salim menarik nafas panjang,
tampak merasa bersalah belum bisa membahagiakan istrinya.
“maaf ya dek, tapi harus
kulakukan. Cuma beliau satu-satunya saudara kita di kota ini. Aku tidak
enakan sama warga, anisa juga mau masuk SD, kita juga belum melunasi kontrakan
selama tiga bulan dan harus dibayar lusa.”
Salim menggigil keluar
rumah. Menahan dingin udara shubuh yang
menggigit tulang-tulangnya yang hanya terbungkus kulit tanpa jaket. Bulan menunjukkan
musim kering, Ramadhan tahun ini bakalan sangat dingin. Kopi panas dan pisang
goreng dari istrinya seakan-akan hanya menjadi penghangat lambung yang tidak bertahan
lama. Hanya senyuman sendu di depan pintu dari istrinyalah yang membuat energi
di tubuhnya seakan-akan menjadi berlipat walau hanya terisi sepotong pisang
goreng yang tertelan mulutnya.
Sudah tujuh tahun mereka menikah.
Salim memutuskan untuk tinggal berpisah dengan orangtua dan mertuanya dengan
alasan ingin mandiri walaupun keduanya meminta untuk tinggal bersama karena
lulusan S1 Ekonomi bisnis ini belum memiliki pekerjaan tetap. Sebenarnya banyak
perusahaan yang menerimanya, tetapi karena semua berasal dari luar Jawa dan
orang tuanya tidak mengizinkan, akhirnya semua dibatalkannya karena memang tidak pernah Salim terfikir untuk
mengecewakan orangtuanya. Sebenarnya Salim sudah mencoba untuk berbisnis, tetapi
karena tidak ada modal bisnisnya pun sulit berkembang. Istrinya yang lulusan
dari SMK kesenian pun juga tidak terlalu membantu perekonomian keluarga.
Terlihat suara kernet angkot kuning jurusan
kota yang ditujunya membuyarkan lamunannya. Segera Salim menghampirinya karena
terang sudah menyapanya. Salim tidak ingin telat ke tempat pamannya karena tau
jadwal pamannya sangat padat.
“kemana mas?”
“Ungaran”
Satu jam perjalanan angkot
berhenti di depan toko butik yang cukup besar. Selesai membayar salim segera
menuju ke toko yang juga rumah dari Pamannya sendiri.
“Assalamualaikum”
“walaikumsalam” terdengar jawaban
dari dalam rumah bersamaan dengan keluarnya lelaki berumur hampir tiga
perempat abad yang masih terlihat segar
dan bahkan belum memakai tongkat.
“lho kamu lim? Masuk-masuk”
Dengan sopan salim memasuki ruangan
yang cukup besar berlantai keramik merah dan duduk diatas sofa empuk ruang tamu
pamannya.
“gimana kabarmu?, istrimu?,
anakmu? Katanya sudah mau masuk SD?”
“Alhamdulillah sehat semua,
semoga paman & bibi juga”
“amin, alhamdulillah lim, semoga
juga diizinkan menikmati ramadhan. Tinggal sepuluh hari lagi. Gimana sudah
mempersiapkan ramadhan dengan baik belum?”
Pertanyaan dari pamannya membuat
salim agak lama untuk menjawab, karena pertanyaan itulah yang menjadi tujuannya
datang.
“Inilah tujuan saya datang
kesini, ada hal yang ingin saya bicarakan”
Percakapan mereka terhenti
sebentar saat bibinya masuk ke ruang tamu menyuguhkan camilan untuk mereka
berdua. Setelah mengobrol sebentar dan bibinya masuk kembali ke dalam rumah,
Salim melanjutkan pembicaraannya.
“inilah tujuan saya datang
kesini, saya ingin minta tolong paman”
“Minta tolong apa lim?”
Salim akhirnya menceritakan kisah
hidupnya kepada pamannya. Menyangkut pekerjaannya yang belum jelas, menyangkut
anaknya yang mau sekolah, menyangkut kontrakannya yang sudah menunggak tiga bulan
dan beberapa masalah lainnya, dan terakhir Salim mengutarakan niatnya untuk
meminjam uang kepada Pamannya.
“mohon maaf sebelumnya paman,
kesannya saya silaturahim cuma ketika ada keperluan saja”
“Tidak masalah lim, tetapi boleh
aku memberi kamu saran?
“iya paman..”
“Begini Lim, bukan maksud aku
tidak membantumu, tapi kau cobalah dulu berusaha untuk menyelesaikan masalahmu.
Kau memutuskan untuk menikah, berarti kau sudah siap dengan berbagai terpaan
apapun, termasuk kali ini. Biar kamu semakin tangguh Lim. ”
Nasehat dari paman satu-satunya
diresapi salim kata demi kata, memang benar apa yang dikatakannya, tapi untuk
saat ini yang dibutuhkan Salim adalah uang, bukanlah nasehat.
“tapi saya benar-benar tidak tahu
harus meminta bantuan kepada siapa lagi, waktu tidak memungkinkan saya untuk
menyelesaikan itu semua”jawab salim pasrah
“tidak ada yang tidak mungkin
lim, Tuhan akan selalu menolong hamba-hambaNya asal hambanya mau berusaha,
tidak langsung pasrah. Coba sekarang kau punya uang berapa?”
Salim meraba sakunya, diambilnya
dompet kulit yang sudah usang dan dibukanya dompet itu. Ada dua lembar uang dua
puluh ribuan dan selembar lagi uang lima puluh ribuan. Ditunjukkannya semua ke pamannya.
“Cuma tinggal ini uang kami”
“kau benar-benar ingin kutolong?”
Tanya pamannya yang langsung ditanggapi anggukan kepala Salim.
“masukkan uang limapuluh ribumu
ke kotak amal yang ada di tokoku, yang dua puluh ribu kamu usahakan untuk
bagaimana agar masalahmu selesai, dan yang dua puluh ribu lagi pakai untuk
pulang”
Salim terkejut mendenggar saran
nasehat dari Pamannya, dalam hati salim kebingungan. Bukannya ditolong dengan
memberinya uang atau minimal meminjaminya, justru orang terkaya dalam silsilah
keluarganya malah menyuruhnya menyedekahkan uang yang dimilikinya,
sampai-sampai Salim berfikir kalau pamannya jadi pelit terbutakan oleh uang
kekayaannya. Tapi karena Salim sangat menghormati pamannya maka tetap
ditunjukkan rasa hormatnya.
“ehm,,mohon maaf paman, bisa
diulang?” kata salim siapa tahu pamannya salah bicara
“masukkan uang lima puluh ribu mu
ke kotak amal yang ada di tokoku, yang dua puluh ribu kamu usahakan untuk
bagaimana agar masalahmu selesai, dan yang dua puluh ribu lagi pakai untuk
pulang” kali ini suara Pamannya jauh lebih tegas.
Salim yang makin bingung dan
makin bersuudzon kemudian bertanya dengan sopan dimana letak pertolongan dari pamannya.
“Gini lim, aku ingin kamu belajar
dan berusaha, sudah lama aku melihat kamu sering putus asa dan terlihat mudah
menyerah. Aku ingin kamu berusaha sekuatmu dahulu. In shaa Allah Tuhan itu tidak
akan memberi suatu cobaan melebihi hambaNya. Seminggu lagi aku berjanji kalau
kamu belum bisa menyelesaikan masalahmu, pasti akan kubantu dengan dana. Tetapi
ada syaratnya, selama seminggu kedepan kamu mulai mempertebal imanmu, mulai
sholat di masjid berjamaah dan juga sholat sunnah. Sholat dhuha, ataupun
qiyamul lail kamu harus memulainya dengan istri dan anakmu, dan kamu harus
janji mau berubah lebih sabar. Dan terakhir kamu harus sering-sering berinfaq.
Seminggu lagi kutunggu disini, gimana?”
Mau tidak mau Salim mengiyakan
permintaan kakak dari bapaknya ini, dia tidak punya pilihan. Dimasukkannya uang
limapuluh ribu kedalam kotak amal dan bergegas pamit untuk pulang setelah
mengucap salam. Salim hanya berfikir semoga satu minggu ini terasa cepat agar
bisa segera meminjam uang pamannya seperti yang telah dijanjikan.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Waktu berjalan ber irama dengan
takdir-takdir yang ditetapkanNya, manusia pun berjalan mengambil tempat di
lorong-lorong waktu untuk mencari jawaban atas takdirnya. Ada yang membisu
dengan waktu dan takdir yang dijalaninya, ada yang tersenyum. Sayang kebanyakan
lebih mempertanyakan kenapa takdirnya termasuk bagian-bagian yang merugi.
Manusia seakan-akan hanya menyalahkan takdir yang diterimanya, manusia tidak
berfikir bahwa ketika dia mau untuk berdiri, mau untuk berlari, dan mau untuk
berpindah ke takdir yang lebih baik. Ya….takdir yang
lebih baik pun takdirnya juga dan didepan jalan kehidupannya masih sangat
panjang maka tidak salah untuk mencari dan berpindah ke takdir yang lebih baik dengan cara berusaha dan sabar. Titik hitam kecil pada sebuah kertas seakan-akan menjadi hal yang
terus mereka sesalkan, padahal seandainya manusia melihat lebih luas, manusia
akan melihat bahwa kertas itu berwarna putih.
Seminggu sudah Salim menjalani
kehidupannya, Salim memutuskan untuk mendatangi Pamannya lagi karena memang
satu-satunya saudaranya di kota tempat dia tinggal adalah pamannya. Salim
mengucap salam yang terjawab salam juga dari dalam rumah. Pamannya menyapa
dengan senyum yang tulus, senyum seorang tua yang masih terlihat segar.
“gimana lim kabarnya?”
“baik paman, Alhamdulillah,
semoga keluarga yang disini senantiasa dalam kebaikan dan dalam penjagaan Allah
juga” jawab salim
“Wah…bahasanya sekarang kaya
ustad he,e,e, amin lim, in Shaa Allah. Oh iya, sudah dilakukan semua perintahku
seminggu yang lalu?”
“Alhamdulillah tidak ada yang
terlewat paman.” Jawab Salim lagi.
“Subhanallah, ya sudah karena
kamu sudah menepati janjimu, maka akan kutepati janjiku juga. Berapa yang kamu
butuhkan Lim? Tidak usah pinjam, anggap saja sedekahku mumpung mau puasa.” Kata
pamannya sambil mengambil uang dalam laci yang telah disiapkannya.
“oh,,,,tidak usah paman, mohon maaf
sebelumnya saya kesini tidak untuk uang itu, saya malah mau mengucapkan
terimakasih kepada paman, berkat paman saya dapat banyak hal yang jauh lebih
mahal”
“lho,,,gimana lim, saya malah gak
faham”
Dengan mata berkaca-kaca salim
pun menceritakan semua.
“begini paman, saya tidak tahu
harus megucap apa ke paman selain terimakasih sebesar-besarnya dengan perintah
kemarin. Alhamdulillah seminggu yang lalu saat saya sangat bingung dan
memutuskan pulang, eh,,ternyata di rumah istriku menangis sama anakku. Rumah
kami sudah disegel sama yang punya. Semua paman..televisi, baju, dan lain-lain.
Cuma dompet dan handphone kami yang tidak diambil. Saya memutuskan untuk pulang
tanpa uang paman, jalan kaki. Saat itu saya tidak tahu harus kemana, saya hanya
memikirkan Allahnlah yang akan menolong saya”
“Saya bertemu dengan anak kecil
memakai baju sekolah yang terjatuh akibat tabrak lari. Tepat di depan mata
saya. Tidak tahu entah tenaga darimana langsung saya hampiri anak yang sudah
pingsan tergeletak dan penuh darah itu karena kebetulan jalanan itu sepi. Saya
langsung memanggil angkot untuk mengantar anak kecil itu ke rumah sakit. Saya
suruh istri untuk menghubungi polisi. Saat itu
uang saya tinggal sepuluh ribu dan habis untuk angkot”. Salim menghela
nafas sebetar dan melanjutkan ceritanya.
“Anak itu masih tertolong,
setelah kami memberi laporan kepada polisi, polisi yang datang itu bertenya
kepada kami dimana kami tinggal. Saya ceritakan semua kondisi saya. Polisi itu
sepertinya baik hati dan menawarkan masjid di depan rumahnya untuk kami tempati
dan meminta kami. Sebenarnya kami menolak, tapi karena dipaksa akhirnya kami
terima juga. Seminggu ini saya tinggal disitu sebagai takmir, juga menyiapkan
kajian setiap sore, karena di masji itu di agendakan kajian setiap sorenya guna
menyambut ramadhan. Saya mendapat ilmu banyak dari kajian kajian itu dan baru
tersadar bahwa selama ini cara hidup saya salah. Saya terlalu cepat putus asa
sehingga hidup rasanya sempit. Alhamdulillah paman, hidup saya sekarang lebih
lapang. Saya sudah cukup bahagia”
“lhoh,,,,berarti kamu sekarang tinggal di masjid lim?” Tanya pamannya
"iya paman"
"iya paman"
“Kamu bakal tinggal disitu terus?
Anakmu sekolahnya gimana? Atau tinggal saja disini nanti kusekolahkan anakmu”
ajak pamannya menawarkan.
“trimakasih, tapi tidak usah.
Saya sama istri sudah memutuskan tinggal dengan mertua, mertua juga tidak
masalah, nanti siang kami berangkat”
“sudah ada bekal?”
“Alhamdulillah sudah. Serambi saya daftar-daftar kerja”
“ya..sudah ini untuk kamu saja”
kata pamannya sambil menyerahkan uang ratusan ribu kepada salim.
“demi Allah tidak usah” tolak
salim dengan halus.
Salim kemudian berpamitan kepada pamannya,
sebelum pulang salim meminta maaf seminggu yag lalu sempat bersuudzon kepada pamannya
perihal peminjaman. Sambil memaafkan pamannya melepas kepulangan salim. Di dalam
hatinya begitu bangga dengan keponakannya yag sekarang jauh lebih dewasa.
Angkot kuning tampak membawa keponakannya berjalan menjauhi rumahnya.
………………………………………………………………………………………………………………
Seratus meter lagi rumah
mertuanya, ayah ibu dari istrinya. Anaknya berlari-lari disambut neneknya,
tampak tertawa lepas seakan-akan semua masalah terselesaikan.
“Gimana kabar kamu nduk, lim?”
“Alhamdulillah buk” dengan takzim
pasangan itu menjawab sambil mencium tangan dari ibunya.
“ayo masuk, ada tamu menunggu”
Tampak mobil mewah di depan rumah
mertuanya. Tamu dari mertuanya. Tetapi salim tidak begitu memperhatikan,
perjalanan dua jam dan sambutan mertuanya sudah mengalihkan konsentrasinya.
Salim masuk kedalam rumah mertuanya, belum sempat dia duduk mertuanya sudah
menyapanya.
“akhirnya datang juga.
Duduk-duduk ini kebetulan ada tamu yang mencarimu”
Salim melihat seorang bapak
dengan anak kecil. Anak kecil yang tidak asing lagi, anak kecil yang pernah
dilihat sebelumnya. Ya…tidak salah lagi, anak kecil yang telah ditolongnya
seminggu yang lalu. Belum sempat hilang rasa terkejutnya, bapak yang sedari
tadi melihatnya langsung berdiri dan memeluknya.
“Terimakasih dek Salim, kalau
tidak ada anda, entah apa takdir yang menimpa anak saya. Berkat dek Salim.
Sekali lagi terimakasih.”
“sudah bapak tidak apa-apa,
bertemakasihlah kepada Allah yang telah menakdirkan saya ada disana”
“iya ini berkat Allah, Allah
telah mengirim orang macam dek salim untuk menolong anak saya. Saya Pak Ibnu,
senang bertemu dek salim” sambil berkaca-kaca Pak Ibnu mengenalkan namanya.
Kemudian Pak Ibnu bercerita bahwa
lima hari anak yang dicintainya hilang, setelah jam sekolah selesai tidak
segera pulang kerumah, melainkan kerumah temannya.
“Sampai sore saya cari tidak ada,
saya hubungi temannya juga tidak ada yang main kerumahnya, eh,,,ternyata
kecelakaan. Alhamdulillah berkat dek Salim akhirnya tertolong. Saya dikabarkan
polisi bahwa anak saya ada dirumah sakit. Polisi itu juga mengabarkan bahwa
yang bernama Salim dan tinggal di masjid dekat rumahnya. Saya sebenarnya dari kemarin-kemarin mau ketempat
dek Salim, tapi baru sempat sekarang setelah melihat alamat dek salim ada
disini”
Salim terbayang dulu mengisi
daftar laporan menggunakan alamat mertuanya karena yang diingat saat itu adalah
bagaimana pulang kerumah.
“Dan subhanallah ternyata pemilik
rumah ini adalah Bapak Ihsan, guru SMP saya dahulu, benar-benar takdir telah
menemukan kita dalam ukhuwah persaudaraan” lanjut Pak Ibnu sambil melihat
hormat orang tua yang duduk di pojok kursi yang tak lain adalah mertua Salim.
“ini muridku yang paling pintar
le, kok ya kebetulan banget” bapak ihsan menambahkan.
“dan saya ada satu permintaan ke
dek salim, saya berharap bisa dikabulkan” lanjut Pak Ibnu
“dengan senang hati pak andai itu
bisa saya lakukan”
“Begini dek, saya lusa harus ke
Mesir, nemenin anak saya yang kedua untuk kuliah S3 di Al Azhar sekalian
menghadiri pernikahannya yang juga akan dilangsungkan disana, saya juga berniat
mengembangkan bisnis disana. Saya mungkin juga tidak kembali ke Semarang karena
sehabis anak saya kuliah saya akan tinggal di Jakarta bersama anak pertama
saya. Ingin menghabiskan hari tua disana bersama keluarga besar. Saya berharap dek
Salim bersedia menjaga rumah saya untuk selamanya. Sebenarnya tanah serumahnya
mau saya wakafkan, tetapi karena sudah banyak masjid di komplek perumahan,
niatan itu akhirnya tidak saya realisasikan. Saya sudah mendengar dari bapak
polisi tentang dek Salim, bukan maksud merendahkan, saya hanya ingin menolong. Itung-itung
membalas kebaikan bapak dek salim yang telah mengajarkan ilmu ke saya sampai
saya sukses dan dek salim sendiri juga menolong saya. In Shaa Allah dirumah juga
ada butiknya, jadi ilmu dek salim sebagai sarjana S1 dan ilmu istri bisa tersalurkan.
Mohon maaf kalau tawarannya lancang, saya hanya ingin berbagi dan menolong. Gimana
dek?”
Bagai menemukan air nan sejuk
diantara bebatuan kering, bagai melepaskan lelah di bawah pohon nan rindang
setelah perjalan jauh, bagai mendapatkan kehangatan cahaya pagi setelah
merasakan dingin gelapnya malam, salim langsung tersungkur sujud menitikkan air
mata mendengar permintaan tulus pak Ibnu. Salim langsung teringat seminggu lalu
betapa takdir Allah sangatlah indah, memberikan cobaan sampai saat itu hanya
Allahlah yang dia harapkan, cobaan yang sangat berat. Teringat lagi kata-kata pamannya
bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi hambaNya dan akan mengganti
dengan kenikmatan yang besar kalau bersabar, Hanya tasbih, tahmid dan takbir
yang bisa diucapkan. Pak Ibnu segera menatihnya untuk berdiri.
“ini bagian dari lembaran takdir
Allah dek, Allah mempertemukan kita,
Allah menjadikan peristiwa ini agar kita senantiasa selalu mendekatkan
diri dan menyerahkan semua hal kepadaNYA karena hanya Dialah pengatur semuanya”
Pak ibnu menunjukkan alamat rumah
yang ditempatinya untuk nantinya ditempati Salim, daerah perumahan yang Salim sudah tidak asing lagi. Perumahan
Puri Indah dengan rumah-rumah yang mewah. Selesai semua urusan Pak Ibnu pamit
untuk pulang karena harus menyiapkan diri untuk pergi ke Mesir. Lima menit kemudian
mobil mewah keluaran terbaru yang membawa Pak Ibnu sudah tidak terlihat
diantara tikungan-tikungan jalan. Salim masuk ke rumah dan disambut istrinya.
“memang ada apa mas? sepertinya
ada hal penting?” Tanya istrinya yang sedari tadi di belakang rumah menyiapkan
makanan.
“Mari kita menyapa ramadhan tahun
ini dengan senantiasa menancapkan cinta kita kepada Allah setinggi-tingginya” Jawab
Salim tersenyum simpul ke istrinya.
“maksudnya mas?” Tanya istrinya
lagi
“Kau ingin tahu?”
Salim melihat jauh keluar, sore
hari menyapanya, banyak warga yang siap-siap ke masjid untuk sholat magrib
sekalian terawih bersama. Istrinya terus bertanya sebenarnya apa yang terjadi,
tetapi hanya senyum salim yang keluar. Sengaja ingin menggoda manusia yang
dicintainya itu.
“marhaban ya ramadhan” lirih
salim dalam hati….
~Silahkan dilanjut sendiri ya
ceritanya he,e,e~
No comments:
Post a Comment
apa saran anda?