Saturday, June 30, 2012

Sedekah Salim



Gradasi warna langit shubuh terlihat mengejar pagi, membawa suasana hangat bagi yang menikmatinya. Tetapi tidak dengan Salim, dia tampak terlihat murung sambil menyiapkan tas kecil yang sering dibawa untuk bepergian. Aisyah Isrinya menemani sambil membawa secangkir kopi panas dan pisang goreng hangat kesukaannya.

“Yakin sepagi ini mas? apa tidak sarapan dulu?”
“Dijalan aja makannya” jawab salim sambil menyiapkan sepatu yang akan dipakainya
“Apa harus ke Om lukman? Kita masih bisa pinjam uang di tempat lain mas?”
Salim menarik nafas panjang, tampak merasa bersalah belum bisa membahagiakan istrinya.
“maaf ya dek, tapi harus kulakukan. Cuma beliau satu-satunya saudara kita di kota ini. Aku tidak enakan sama warga, anisa juga mau masuk SD, kita juga belum melunasi kontrakan selama tiga bulan dan harus dibayar lusa.”


Salim menggigil keluar rumah.  Menahan dingin udara shubuh yang menggigit tulang-tulangnya yang hanya terbungkus kulit tanpa jaket. Bulan menunjukkan musim kering, Ramadhan tahun ini bakalan sangat dingin. Kopi panas dan pisang goreng dari istrinya seakan-akan hanya menjadi penghangat lambung yang tidak bertahan lama. Hanya senyuman sendu di depan pintu dari istrinyalah yang membuat energi di tubuhnya seakan-akan menjadi berlipat walau hanya terisi sepotong pisang goreng yang tertelan mulutnya. 

Sudah tujuh tahun mereka menikah. Salim memutuskan untuk tinggal berpisah dengan orangtua dan mertuanya dengan alasan ingin mandiri walaupun keduanya meminta untuk tinggal bersama karena lulusan S1 Ekonomi bisnis ini belum memiliki pekerjaan tetap. Sebenarnya banyak perusahaan yang menerimanya, tetapi karena semua berasal dari luar Jawa dan orang tuanya tidak mengizinkan, akhirnya semua dibatalkannya karena memang  tidak pernah Salim terfikir untuk mengecewakan orangtuanya. Sebenarnya Salim sudah mencoba untuk berbisnis, tetapi karena tidak ada modal bisnisnya pun sulit berkembang. Istrinya yang lulusan dari SMK kesenian pun juga tidak terlalu membantu perekonomian keluarga.

Terlihat suara kernet angkot kuning jurusan kota yang ditujunya membuyarkan lamunannya. Segera Salim menghampirinya karena terang sudah menyapanya. Salim tidak ingin telat ke tempat pamannya karena tau jadwal pamannya sangat padat.

“kemana mas?”
“Ungaran”
Satu jam perjalanan angkot berhenti di depan toko butik yang cukup besar. Selesai membayar salim segera menuju ke toko yang juga rumah dari Pamannya sendiri.

“Assalamualaikum”
“walaikumsalam” terdengar jawaban dari dalam rumah bersamaan dengan keluarnya lelaki berumur hampir tiga perempat  abad yang masih terlihat segar dan bahkan belum memakai tongkat.
“lho kamu lim? Masuk-masuk”
Dengan sopan salim memasuki ruangan yang cukup besar berlantai keramik merah dan duduk diatas sofa empuk ruang tamu pamannya.
“gimana kabarmu?, istrimu?, anakmu? Katanya sudah mau masuk SD?”
“Alhamdulillah sehat semua, semoga paman & bibi juga”
“amin, alhamdulillah lim, semoga juga diizinkan menikmati ramadhan. Tinggal sepuluh hari lagi. Gimana sudah mempersiapkan ramadhan dengan baik belum?” 

Pertanyaan dari pamannya membuat salim agak lama untuk menjawab, karena pertanyaan itulah yang menjadi tujuannya datang.

“Inilah tujuan saya datang kesini, ada hal yang ingin saya bicarakan”

Percakapan mereka terhenti sebentar saat bibinya masuk ke ruang tamu menyuguhkan camilan untuk mereka berdua. Setelah mengobrol sebentar dan bibinya masuk kembali ke dalam rumah, Salim melanjutkan pembicaraannya.

“inilah tujuan saya datang kesini, saya ingin minta tolong paman”
“Minta tolong apa lim?”

Salim akhirnya menceritakan kisah hidupnya kepada pamannya. Menyangkut pekerjaannya yang belum jelas, menyangkut anaknya yang mau sekolah, menyangkut kontrakannya yang sudah menunggak tiga bulan dan beberapa masalah lainnya, dan terakhir Salim mengutarakan niatnya untuk meminjam uang kepada Pamannya.

“mohon maaf sebelumnya paman, kesannya saya silaturahim cuma ketika ada keperluan saja”
“Tidak masalah lim, tetapi boleh aku memberi kamu saran?
“iya paman..”
“Begini Lim, bukan maksud aku tidak membantumu, tapi kau cobalah dulu berusaha untuk menyelesaikan masalahmu. Kau memutuskan untuk menikah, berarti kau sudah siap dengan berbagai terpaan apapun, termasuk kali ini. Biar kamu semakin tangguh Lim. ”

Nasehat dari paman satu-satunya diresapi salim kata demi kata, memang benar apa yang dikatakannya, tapi untuk saat ini yang dibutuhkan Salim adalah uang, bukanlah nasehat.

“tapi saya benar-benar tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi, waktu tidak memungkinkan saya untuk menyelesaikan itu semua”jawab salim pasrah
“tidak ada yang tidak mungkin lim, Tuhan akan selalu menolong hamba-hambaNya asal hambanya mau berusaha, tidak langsung pasrah. Coba sekarang kau punya uang berapa?”

Salim meraba sakunya, diambilnya dompet kulit yang sudah usang dan dibukanya dompet itu. Ada dua lembar uang dua puluh ribuan dan selembar lagi uang lima puluh ribuan. Ditunjukkannya semua ke pamannya.

“Cuma tinggal ini uang kami”
“kau benar-benar ingin kutolong?” Tanya pamannya yang langsung ditanggapi anggukan kepala Salim.
“masukkan uang limapuluh ribumu ke kotak amal yang ada di tokoku, yang dua puluh ribu kamu usahakan untuk bagaimana agar masalahmu selesai, dan yang dua puluh ribu lagi pakai untuk pulang”

Salim terkejut mendenggar saran nasehat dari Pamannya, dalam hati salim kebingungan. Bukannya ditolong dengan memberinya uang atau minimal meminjaminya, justru orang terkaya dalam silsilah keluarganya malah menyuruhnya menyedekahkan uang yang dimilikinya, sampai-sampai Salim berfikir kalau pamannya jadi pelit terbutakan oleh uang kekayaannya. Tapi karena Salim sangat menghormati pamannya maka tetap ditunjukkan rasa hormatnya.

“ehm,,mohon maaf paman, bisa diulang?” kata salim siapa tahu pamannya salah bicara
“masukkan uang lima puluh ribu mu ke kotak amal yang ada di tokoku, yang dua puluh ribu kamu usahakan untuk bagaimana agar masalahmu selesai, dan yang dua puluh ribu lagi pakai untuk pulang” kali ini suara Pamannya jauh lebih tegas.

Salim yang makin bingung dan makin bersuudzon kemudian bertanya dengan sopan dimana letak pertolongan dari pamannya.

“Gini lim, aku ingin kamu belajar dan berusaha, sudah lama aku melihat kamu sering putus asa dan terlihat mudah menyerah. Aku ingin kamu berusaha sekuatmu dahulu. In shaa Allah Tuhan itu tidak akan memberi suatu cobaan melebihi hambaNya. Seminggu lagi aku berjanji kalau kamu belum bisa menyelesaikan masalahmu, pasti akan kubantu dengan dana. Tetapi ada syaratnya, selama seminggu kedepan kamu mulai mempertebal imanmu, mulai sholat di masjid berjamaah dan juga sholat sunnah. Sholat dhuha, ataupun qiyamul lail kamu harus memulainya dengan istri dan anakmu, dan kamu harus janji mau berubah lebih sabar. Dan terakhir kamu harus sering-sering berinfaq. Seminggu lagi kutunggu disini, gimana?”

Mau tidak mau Salim mengiyakan permintaan kakak dari bapaknya ini, dia tidak punya pilihan. Dimasukkannya uang limapuluh ribu kedalam kotak amal dan bergegas pamit untuk pulang setelah mengucap salam. Salim hanya berfikir semoga satu minggu ini terasa cepat agar bisa segera meminjam uang pamannya seperti yang telah dijanjikan.

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Waktu berjalan ber irama dengan takdir-takdir yang ditetapkanNya, manusia pun berjalan mengambil tempat di lorong-lorong waktu untuk mencari jawaban atas takdirnya. Ada yang membisu dengan waktu dan takdir yang dijalaninya, ada yang tersenyum. Sayang kebanyakan lebih mempertanyakan kenapa takdirnya termasuk bagian-bagian yang merugi. Manusia seakan-akan hanya menyalahkan takdir yang diterimanya, manusia tidak berfikir bahwa ketika dia mau untuk berdiri, mau untuk berlari, dan mau untuk berpindah ke takdir yang lebih baik. Ya….takdir yang lebih baik pun takdirnya juga dan didepan jalan kehidupannya masih sangat panjang maka tidak salah untuk mencari dan berpindah ke takdir yang lebih baik dengan cara berusaha dan sabar. Titik hitam kecil pada sebuah kertas seakan-akan menjadi hal yang terus mereka sesalkan, padahal seandainya manusia melihat lebih luas, manusia akan melihat bahwa kertas itu berwarna putih.

Seminggu sudah Salim menjalani kehidupannya, Salim memutuskan untuk mendatangi Pamannya lagi karena memang satu-satunya saudaranya di kota tempat dia tinggal adalah pamannya. Salim mengucap salam yang terjawab salam juga dari dalam rumah. Pamannya menyapa dengan senyum yang tulus, senyum seorang tua yang masih terlihat segar.

“gimana lim kabarnya?”
“baik paman, Alhamdulillah, semoga keluarga yang disini senantiasa dalam kebaikan dan dalam penjagaan Allah juga” jawab salim
“Wah…bahasanya sekarang kaya ustad he,e,e, amin lim, in Shaa Allah. Oh iya, sudah dilakukan semua perintahku seminggu yang lalu?”
“Alhamdulillah tidak ada yang terlewat paman.” Jawab Salim lagi.
“Subhanallah, ya sudah karena kamu sudah menepati janjimu, maka akan kutepati janjiku juga. Berapa yang kamu butuhkan Lim? Tidak usah pinjam, anggap saja sedekahku mumpung mau puasa.” Kata pamannya sambil mengambil uang dalam laci yang telah disiapkannya.
“oh,,,,tidak usah paman, mohon maaf sebelumnya saya kesini tidak untuk uang itu, saya malah mau mengucapkan terimakasih kepada paman, berkat paman saya dapat banyak hal yang jauh lebih mahal”
“lho,,,gimana lim, saya malah gak faham”

Dengan mata berkaca-kaca salim pun menceritakan semua.

“begini paman, saya tidak tahu harus megucap apa ke paman selain terimakasih sebesar-besarnya dengan perintah kemarin. Alhamdulillah seminggu yang lalu saat saya sangat bingung dan memutuskan pulang, eh,,ternyata di rumah istriku menangis sama anakku. Rumah kami sudah disegel sama yang punya. Semua paman..televisi, baju, dan lain-lain. Cuma dompet dan handphone kami yang tidak diambil. Saya memutuskan untuk pulang tanpa uang paman, jalan kaki. Saat itu saya tidak tahu harus kemana, saya hanya memikirkan Allahnlah yang akan menolong saya”

“Saya bertemu dengan anak kecil memakai baju sekolah yang terjatuh akibat tabrak lari. Tepat di depan mata saya. Tidak tahu entah tenaga darimana langsung saya hampiri anak yang sudah pingsan tergeletak dan penuh darah itu karena kebetulan jalanan itu sepi. Saya langsung memanggil angkot untuk mengantar anak kecil itu ke rumah sakit. Saya suruh istri untuk menghubungi polisi. Saat itu  uang saya tinggal sepuluh ribu dan habis untuk angkot”. Salim menghela nafas sebetar dan melanjutkan ceritanya.

“Anak itu masih tertolong, setelah kami memberi laporan kepada polisi, polisi yang datang itu bertenya kepada kami dimana kami tinggal. Saya ceritakan semua kondisi saya. Polisi itu sepertinya baik hati dan menawarkan masjid di depan rumahnya untuk kami tempati dan meminta kami. Sebenarnya kami menolak, tapi karena dipaksa akhirnya kami terima juga. Seminggu ini saya tinggal disitu sebagai takmir, juga menyiapkan kajian setiap sore, karena di masji itu di agendakan kajian setiap sorenya guna menyambut ramadhan. Saya mendapat ilmu banyak dari kajian kajian itu dan baru tersadar bahwa selama ini cara hidup saya salah. Saya terlalu cepat putus asa sehingga hidup rasanya sempit. Alhamdulillah paman, hidup saya sekarang lebih lapang. Saya sudah cukup bahagia”
“lhoh,,,,berarti kamu sekarang tinggal di masjid lim?” Tanya pamannya

"iya paman"

“Kamu bakal tinggal disitu terus? Anakmu sekolahnya gimana? Atau tinggal saja disini nanti kusekolahkan anakmu” ajak pamannya menawarkan.
“trimakasih, tapi tidak usah. Saya sama istri sudah memutuskan tinggal dengan mertua, mertua juga tidak masalah, nanti siang kami berangkat”
“sudah ada bekal?”
“Alhamdulillah sudah. Serambi saya daftar-daftar kerja”
“ya..sudah ini untuk kamu saja” kata pamannya sambil menyerahkan uang ratusan ribu kepada salim.
“demi Allah tidak usah” tolak salim dengan halus.

Salim kemudian berpamitan kepada pamannya, sebelum pulang salim meminta maaf seminggu yag lalu sempat bersuudzon kepada pamannya perihal peminjaman. Sambil memaafkan pamannya melepas kepulangan salim. Di dalam hatinya begitu bangga dengan keponakannya yag sekarang jauh lebih dewasa. Angkot kuning tampak membawa keponakannya berjalan menjauhi rumahnya.

………………………………………………………………………………………………………………

Seratus meter lagi rumah mertuanya, ayah ibu dari istrinya. Anaknya berlari-lari disambut neneknya, tampak tertawa lepas seakan-akan semua masalah terselesaikan.
“Gimana kabar kamu nduk, lim?”
“Alhamdulillah buk” dengan takzim pasangan itu menjawab sambil mencium tangan dari ibunya.
“ayo masuk, ada tamu menunggu”

Tampak mobil mewah di depan rumah mertuanya. Tamu dari mertuanya. Tetapi salim tidak begitu memperhatikan, perjalanan dua jam dan sambutan mertuanya sudah mengalihkan konsentrasinya. Salim masuk kedalam rumah mertuanya, belum sempat dia duduk mertuanya sudah menyapanya.

“akhirnya datang juga. Duduk-duduk ini kebetulan ada tamu yang mencarimu”

Salim melihat seorang bapak dengan anak kecil. Anak kecil yang tidak asing lagi, anak kecil yang pernah dilihat sebelumnya. Ya…tidak salah lagi, anak kecil yang telah ditolongnya seminggu yang lalu. Belum sempat hilang rasa terkejutnya, bapak yang sedari tadi melihatnya langsung berdiri dan memeluknya.

“Terimakasih dek Salim, kalau tidak ada anda, entah apa takdir yang menimpa anak saya. Berkat dek Salim. Sekali lagi terimakasih.”
“sudah bapak tidak apa-apa, bertemakasihlah kepada Allah yang telah menakdirkan saya ada disana”
“iya ini berkat Allah, Allah telah mengirim orang macam dek salim untuk menolong anak saya. Saya Pak Ibnu, senang bertemu dek salim” sambil berkaca-kaca Pak Ibnu mengenalkan namanya.
Kemudian Pak Ibnu bercerita bahwa lima hari anak yang dicintainya hilang, setelah jam sekolah selesai tidak segera pulang kerumah, melainkan kerumah temannya.
“Sampai sore saya cari tidak ada, saya hubungi temannya juga tidak ada yang main kerumahnya, eh,,,ternyata kecelakaan. Alhamdulillah berkat dek Salim akhirnya tertolong. Saya dikabarkan polisi bahwa anak saya ada dirumah sakit. Polisi itu juga mengabarkan bahwa yang bernama Salim dan tinggal di masjid dekat rumahnya. Saya  sebenarnya dari kemarin-kemarin mau ketempat dek Salim, tapi baru sempat sekarang setelah melihat alamat dek salim ada disini”

Salim terbayang dulu mengisi daftar laporan menggunakan alamat mertuanya karena yang diingat saat itu adalah bagaimana pulang kerumah.

“Dan subhanallah ternyata pemilik rumah ini adalah Bapak Ihsan, guru SMP saya dahulu, benar-benar takdir telah menemukan kita dalam ukhuwah persaudaraan” lanjut Pak Ibnu sambil melihat hormat orang tua yang duduk di pojok kursi yang tak lain adalah mertua Salim.
“ini muridku yang paling pintar le, kok ya kebetulan banget” bapak ihsan menambahkan.
“dan saya ada satu permintaan ke dek salim, saya berharap bisa dikabulkan” lanjut Pak Ibnu
“dengan senang hati pak andai itu bisa saya lakukan”

“Begini dek, saya lusa harus ke Mesir, nemenin anak saya yang kedua untuk kuliah S3 di Al Azhar sekalian menghadiri pernikahannya yang juga akan dilangsungkan disana, saya juga berniat mengembangkan bisnis disana. Saya mungkin juga tidak kembali ke Semarang karena sehabis anak saya kuliah saya akan tinggal di Jakarta bersama anak pertama saya. Ingin menghabiskan hari tua disana bersama keluarga besar. Saya berharap dek Salim bersedia menjaga rumah saya untuk selamanya. Sebenarnya tanah serumahnya mau saya wakafkan, tetapi karena sudah banyak masjid di komplek perumahan, niatan itu akhirnya tidak saya realisasikan. Saya sudah mendengar dari bapak polisi tentang dek Salim, bukan maksud merendahkan, saya hanya ingin menolong. Itung-itung membalas kebaikan bapak dek salim yang telah mengajarkan ilmu ke saya sampai saya sukses dan dek salim sendiri juga menolong saya. In Shaa Allah dirumah juga ada butiknya, jadi ilmu dek salim sebagai sarjana S1 dan ilmu istri bisa tersalurkan. Mohon maaf kalau tawarannya lancang, saya hanya ingin berbagi dan menolong. Gimana dek?”

Bagai menemukan air nan sejuk diantara bebatuan kering, bagai melepaskan lelah di bawah pohon nan rindang setelah perjalan jauh, bagai mendapatkan kehangatan cahaya pagi setelah merasakan dingin gelapnya malam, salim langsung tersungkur sujud menitikkan air mata mendengar permintaan tulus pak Ibnu. Salim langsung teringat seminggu lalu betapa takdir Allah sangatlah indah, memberikan cobaan sampai saat itu hanya Allahlah yang dia harapkan, cobaan yang sangat berat. Teringat lagi kata-kata pamannya bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi hambaNya dan akan mengganti dengan kenikmatan yang besar kalau bersabar, Hanya tasbih, tahmid dan takbir yang bisa diucapkan. Pak Ibnu segera menatihnya untuk berdiri.
“ini bagian dari lembaran takdir Allah dek, Allah mempertemukan kita,  Allah menjadikan peristiwa ini agar kita senantiasa selalu mendekatkan diri dan menyerahkan semua hal kepadaNYA karena hanya Dialah pengatur semuanya”

Pak ibnu menunjukkan alamat rumah yang ditempatinya untuk nantinya ditempati Salim, daerah perumahan  yang Salim sudah tidak asing lagi. Perumahan Puri Indah dengan rumah-rumah yang mewah. Selesai semua urusan Pak Ibnu pamit untuk pulang karena harus menyiapkan diri untuk pergi ke Mesir. Lima menit kemudian mobil mewah keluaran terbaru yang membawa Pak Ibnu sudah tidak terlihat diantara tikungan-tikungan jalan. Salim masuk ke rumah dan disambut istrinya.
“memang ada apa mas? sepertinya ada hal penting?” Tanya istrinya yang sedari tadi di belakang rumah menyiapkan makanan.
“Mari kita menyapa ramadhan tahun ini dengan senantiasa menancapkan cinta kita kepada Allah setinggi-tingginya” Jawab Salim tersenyum simpul ke istrinya.
“maksudnya mas?” Tanya istrinya lagi
“Kau ingin tahu?” 

Salim melihat jauh keluar, sore hari menyapanya, banyak warga yang siap-siap ke masjid untuk sholat magrib sekalian terawih bersama. Istrinya terus bertanya sebenarnya apa yang terjadi, tetapi hanya senyum salim yang keluar. Sengaja ingin menggoda manusia yang dicintainya itu.

“marhaban ya ramadhan” lirih salim dalam hati….

~Silahkan dilanjut sendiri ya ceritanya he,e,e~

No comments:

Post a Comment

apa saran anda?